Perlawanan Pajak adalah hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak baik yang
disebabkan oleh kondisi negara dan rakyatnya maupun disebabkan oleh usaha-usaha
wajib pajak yang disadari ataupun tidak disadari mempersulit pemasukan pajak
sebagai sumber penerimaan negara. Walaupun pajak tidak bisa dipungut tanpa
adanya persetujuan dari rakyat, pemerintah selalu berusaha untuk memberikan
penerangan dan penyuluhan agar rakyat mempunyai kesadaran akan kewajibannya
membayar pajak.
Menurut R. Santoso Brotodihardjo dalam bukunya “ Pengantar Ilmu Hukum Pajak “ perlawanan
terhadap pajak dapat dibedakan antara Perlawanan Pasif dan Perlawanan
Aktif.
1.
Perlawanan
Pasif
Perlawanan
Pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak yang
erat hubungannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral
penduduk serta system pemungutan pajak itu sendiri.
Misalnya antara negara industri dengan negara agraris, akan
berbeda dalam hal melaksanakan pencatatan
pembukuan. Demikian pula dalam kemajuan tingkat pendidikan menyebabkan
masyarakat di negara industri telah terorientasi “ bank minded “.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan Aktif adalah meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.
Usaha
perlawanan aktif dapat dibedakan menjadi 3 ( tiga ) cara, yaitu :
a.
Penghindaran
diri dari pajak ( Tax Saving )
Penghindaran
diri dari pajak dapat dilakukan dengan cara tidak melakukan kegiatan-kegiatan
yang menjadi penyebab timbulnya utang pajak. Misalnya dengan menahan diri untuk
tidak melakukan kegiatan yang menimbulkan pajak, mengganti pemakaian barang kena
pajak dengan barang yang tidak kena pajak atau kegiatan lainnya.
Ketidakjelasan
atau lemahnya Undang Undang atau mungkin lemahnya control aparat pajak, akan
menyebabkan adanya lubang-lubang kelemahan yang dimanfaatkan oleh wajib pajak
untuk menghindari atau memperkecil jumlah pajaknya. Pemanfaatan lubang-lubang
kelemahan untuk menghindari atau memperkecil pajak oleh wajib pajak disebut
dengan “loopholes”. Dan penghindaran diri dari pajak yang seperti ini
disebut “ tax avoidance “.
b.
Pengelakan
pajak( Tax Evasion )
Pengelakan
pajak dilakukan dengan cara penyelundupan pajak yaitu dengan menyembunyikan
keadaan-keadaan yang sebenarnya. Pengelakan yang seperti ini benar-benar suatu
pelanggaran terhadap Undang Undang atau ketentuan peraturan perpajakan.
Misalnya
dengan membuat pernyataan yang tidak benar, membuat laporan yang tidak
benar/palsu, membuat pembukuan ganda, tidak melaporkan penghasilan yang
diperoleh dari pekerjaan sampingan.
Pengelakan
pajak dengan cara seperti diatas disebut dengan “ tax Evasion “.
c.
Melalaikan
Pajak
Melalaikan
pajak meliputi tindakan menolak untuk membayar pajak yang telah ditetapkan oleh
fiskus atau menolak untuk memenuhi formalitas-formalitas yang harus
dipenuhi berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Misalnya
usaha menggagalkan penyitaan.
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
1. Stelsel Pajak
a. Stelsel Nyata
Pengenaan
Pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), pemungutan dilakukan pada
akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya diketahui.Pajak lebih
realistis tapi baru dapat dikenakan di akhir periode.
b. Stelsel Anggapan (Fictieve
stelsel)
Pengenaan
pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur Undang-Undang.Tanpa menunggu
akhir tahun dan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Merupakan kombinasi antara stelsel
Nyata dan stelsel anggapan.Pada awal tahun dihitung berdasarkan anggapan dan
akhir tahun disesuaikan dengan keadaan yang sebebnarnya.
2. Asas Pemungutan Pajak
a. Asas Domisili
Negara berhak untuk mengenakan pajak
atas seluruh penghasilan wajib pajak diwilayahnya baik dari dalam negeri maupun
dari luar negeri.asas ini berlaku bagi wajib pajak dalam negeri.
b. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal
wajib pajak.
c. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan
kebangsaan suatu negara.
3. Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assesment system
adalah suatu sistem pemungutan yang
memberi wewenang kepada pemerintah (FISKUS) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak.
ciri-cirinya :
1.
wewenang untuk
menentukan besarya pajak terutang ada pada fiskus
2.
wajib pajak
bersifat pasif
3.
utang pajak
timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya
pajak yang terutang.
ciri-cirinya adalah :
1.
wewenang untuk
menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri
2.
wajib pajak
aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang.
3.
fiskus tidak
ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak
yang bersangkutan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak.
ciri-cirinya wewenang menentukan
besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga pihak selain fiskus dan
wajib pajak.
1.
Tarif
proporsional(a proportional tax rate structure) yaitu tarif pajak yang
presentasenya tetap meskipun terjadi perubahan dasar pengenaan
pajak.Contoh:Pajak Pertambahan Nilai
2.
Tarif regresif
(a regresive tax rate structure) yaitu tarif pajak menurun ketika dasar pengenaan pajak meningkat.
3.
Tarif progresif
(a progresive tax rate structure) yaitu tarif pajak akan semakin naik
sebanding dengan naiknya dasar pengenaan pajak. Contoh Pajak Pengahsilan
4.
Tarif degresif
( a degresive tax rate structure) yaitu kenaikan persentase tarif pajak
akan semakin rendah ketika dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat.
Tarif Pajak yang berlaku untuk Pajak Penghasilan di Indonesia adalah tarif progressif sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.Sedangkan untuk Pajak Pertambahan Nilai berlaku tarif pajak proporsional yaitu 10%.
Berdasarkan pasal 17 ayat 1Undang-Undang Pajak Penghasilan
Nomor 36 Tahun 2008, besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan bagi
penghasilan wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dgn Rp 50.000.000 (Lima
Puluh Juta Rupiah)
|
5% (lima
persen)
|
Diatas Rp 50.000.000 (Lima Puluh
Juta Rupiah) sampai dengan Rp 250.000.000 (dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah)
|
15% (lima
belas persen)
|
Diatas Rp 250.000.000 (dua Ratus
Lima Puluh Juta Rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah)
|
25% (dua
puluh lima persen)
|
Diatas Rp 500.000.000 (Lima Ratus
Juta Rupiah)
|
30% (tiga puluh
persen)
|
2.
Wajib Pajak badan dalam negeri
Untuk wajib pajak badan dalam negeri dikenakan tariff
tunggal yaitu sebesar 25% yang berlaku sejak tahun 2010.
Sistem
Pemungutan Pajak
Sistem
pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia berdasarkan Undang-undang :
1.
Official Assessment System
Official
assessement system adalah suatu sistem pengenaan pajak yang memberi wewenang
kepada pemerintah (kantor pajak) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh
wajib pajak.
Sistem
ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas di
mana masyarakat selaku subjek/wajib pajak dipandang belum mampu untuk diserahi
tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan pajak.
Salah
satu contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah pajak bumi dan
bangunan. Pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan
mau tidak mau akan melibatkan masyarakat dari semua lapisan, yakni mereka yang
memiliki, menguasai, atau mengambil manfaat dari bumi dan atau bangunan sebagai
subjek pajak (wajib pajak).
2.
Self Assessement System
Self
assessement system adalah suatu sistem pengenaan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk memnentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Sistem
ini umumny diterapkan pada jenis pajak di mana wajib pajak dipandang cukup
mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajak
sendiri.
Salah
satu contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak penghasilan
(PPn), pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa (PPN), dan pajak penjualan
atas barang mewah (PPn.BM).
3.
With Holding System
With
Holding System adalah sistem pengenaan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan pemerintah dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Dengan
demikian, yang banyak melakukan tangguang jawab adalah pihak ketiga. Hal
seperti ini dapat dilihat misalnya dalam pajak penghasilan pasal 21 dimana
pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun dan sebagainya yang
kepadanya diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak atas penghasilan yang
mereka bayarkan.
Cara Pemungutan Pajak:
1.
Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan
pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru
dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang
sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan stelsel ini adalah pajak yg dikenakan lebih realistis. Sedangkan
kelmahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah
penghasilan riil diketahui)
2.
Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan
pajak berdasarkan pada suatu anggapan yg diatur oleh undang- undang. Misalnya
penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada
awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk
tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama
tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya
adalah pajak yg dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3.
Stelsel campuran
Stelsel ini
merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun,
besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun
besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak
menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak
harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta
kembali.
Hambatan pemungutan
pajak
1.
Perlawanan pasif
Masyarakat
enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antar lain:
a.
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b.
Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami
masyarakat.
c.
Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan
dengan baik
2.
Perlawanan aktif
Perlawanan
aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada
fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak dengan tidak melanggar undang-
undang. Bentuknya antara lain:
a.
Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang- undang.
b.
Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang- undang (menggelapkan pajak).
Tarif Pajak
1.
Tarif sebanding/ proprsional
Tarif berupa
presentase yg tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga
besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai pajak yang
dikenai pajak.
Contoh: untuk
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar 10%.
2.
Tarif tetap
Tarif berupa
jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga
besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh:
Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal
berapapun adalah Rp 1.000,00
3.
Tarif progresif
Presentase
tarif yang digunakan semakin besarbila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: pasal
17 UU PPh 2000
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan dan BUT
·
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 tarif pajak 10%
·
Diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00
tarif pajak 15%
·
Diatas Rp 100.000.000,00 tarif pajak 30%
Menurut
kenaikan presentase tarifnya, tarif progesif dibagi:
a.
Tarif progesif progesif: kenaikan presentase semakin
besar
b.
Tarif progesif tetap: kenaikan presentase tetap
c.
Tarif progesif degresif: kenaikan presentase semakin
kecil
Dengan
demikian, tarif pajak menurut pasal 17 UU PPh tersebut diatas termasuk tarif
progesif progesif.
4.
Tarif degresif
Presentase
tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar